Oleh :
BAHAUDDIN
HARRY BROUDY (1905-1998)
A. Riwayat Singkat
Harry Broudy dilahirkan di Polandia dari keluarga Yahudi yang kaya, abak sulung dari empat bersaudara dan mengawali pendidikannya di Cheder (ruang belajar khas warga Yahudi) tradisional. Ia berimigarsi dengan keluarganya ke Massachusetts pada tahun 1912 dan memasuki sekolah Amerika tanpa penegtahuan bahasa Inggris sama sekali. Ia meraih gelar BA untuk Sastra dan Filsafat Jerman dari Boston University (1929) dan Ph.D. dalam Filsafat dari Harvard (1935), fokus utamanya adalah pada Kirkegaard Bergson dan William James.
Broudy mendalami pendidikan terutama karena munculnya anti Semitisme di universitas-universitas Amerika yang tidak mendukung terlibatnya orang-orang Yahudi dalan Ivy Leagues (sekumpulan college di kawasan timur laut Amerika Serikat yang membentuk liga untuk olah raga antar-college istilah ini seirng digunakan untuk menunjukkan gaya busana, standar sikap dan lain-lain dari para mahasiswanya. Walaupun gelar Harvard yang diterimanya di bawah bimbingan Whitehead dan Perry, ia hanya bekerja di Nort Adam State Teachers College (1937) sebagai pengajar Psikologi Umum dan Filsafat Pendidikan. Di sana ia bertemu dan menikah dengan Dorothy Hogarth (1947), puteri seoarang petani dan perempuan berbakat yang mendukung Broudy dengan pelbagai cara seperti mengatur waktu, mengetik makalah memperbaiki kran, dan melakukan tugas-tugas penting lainnya. Anak laki-lakinya lahir di Massachusetts.
Pada tahun 1957 Broudy diterima di College of Education University of Illinois yang juga sebagai indicator kejayaan karir keduanya yang produktif dan memuaskan. Di sana ia tidak lagi tertarik dan tidak berminat bekerja pada jurusan Filsafat. Ia lebih memusatkakn perhatiannya pada bidang pendidikan dengan meneliti bidang kurikulum dan pendidikan menengah (secondary education) dan tinggi (tertiary education) serta mengembangkan ide-idenya tentang pemanfaatan sekolah. Meskipun ia telah pensiun pada tahun 1974, ia masih aktif dalam komite-komite kampus, mengajar memberikan nasihat dan kegiatan akademis selama lima belas tahun berikutnya. Selain itu ia juga memperoleh kehormatan melalaui diselenggarakannya sebuah konferensi tentang “Pemenfaatan Pengetahuan Kehiudpan Pribadi dan Layanan Profesional”. Broody tinggal di Urbana sampai meninggal dunia dan saat usianya sudah mencapai sembilan puluh tahun masih dapat dilihat berjalan cepat di jalan yang ramai (bahkan tanpa tertabrak mobil) di Race Street yang menghubungkan rumahnya dengan kampus.
B. Filsafat Pendidikan Seni dan Estetika
Jenis pendidikan sekolah apa yang diperlukan untuk mecapai harapan cerah? Pengetahuan memberikan sumbangan bagi pencerahan, tapi pengetahuan yang mencerahkan harapan meliputi pengetahuan ilmiah dan penegtahuan nilai …pengetahuan untuk harapan cerah kadang disebut kearifan, yang memadukan penegtahuan manusia dengan kejernihan berpikir tentang apa yang dapat dan tidak dapat dicapai.
Broudy dianggap sebagai filsuf utama Pendidikan pada paruh kedua abad ke-20. akan tetapi pengaruh utamanya yang tertuang dalam tulisan pendidikan estetika menegenai bidang seni visual, kurang diakui tetapi tidak kurang penting, termasuk pendidikan musik. Pada awal 1950, pendidikan estetika muncul sebagai inti pemikirannya bahkan dalam membahas masalah-masalah pendidikan umum, seperti penggunaan pendidikan sekolah atau pembahasan tentang bagaimana disiplin-disiplin intelektual dapat ditransformasikan ke dalam program-program pendidikan umum pada masyarakat demokratis). Kepindahannya ke University of Illinois, yang memiliki program seni visual dan seni musik sangat baik, memperkuat minat dan pengaruhnya dalalm dalam pendidikan estetika. Charles Leonhard, seorang pendidik musik yang kharismatik dengan komitmen mendalam pada estetika dan implikasinya terhadap praktik, kala itu sedang dalam proses mendirikan program doctoral untuk pendidikan musik--- yang kenudian menjadi terkenal. Ia mengenal Broudy sebagai sarjana terkemuka dan meminta mahasiswanya untuk mengikuti kuliah-kuliah Broudy, termasuk para calon pendidik musik termuka seperti Bannet, Reimer, dan Wayne Bowman, yang mengembangkan ide-idenya lebih lanjut dallam bidang filsafat pendidikan musik. Sehingga pengaruh jangka panjang ide Broudy dapat dilihat melalui mahasiswa yang belajar kepadanya di Illinois dan juga melalui tulisan-tulisan tentang filsafat pendidikan musik.
Janji Broudy adalah bahwa kehidupan akan lebih baik, jika melalui pendidikan, citarasa seseorang dapat diubah mendekati citrarasa ahli seni (connoisseur), terbentuk landasan berfikir (rational) bagi pendidikan estetika dan diutamakannya apresiasi seni sebagai cara untuk mencapai “melek seni” (asthetic literacy). Ia menyatakan bahwa disiplin pendidikan seni terdiri dari sekumpulan penegtahuan yang didasarkan pada keahlian dan kesarjanaan, melampaui unjuk kemampuan (exposure), dan pengungkapan diri (self-expression). Pendidikan imajinasi berarti bahwa anak didik mendapat imaji-imaji seni yang berfungsi sebagai sumber assosiatif dan interpretative, dengan memberikan konteks yang memperluas dan memperdalam pemahaman. Seni akan mengsisi peran yang sama dengan kemanusiaan--- mengajarkan nilai menambah keindahan, mengurangi keburukan dan kebencian. Sehingga seni lebih mengadopsi tujuan pendidikan umum, bukan tujuan pendidikan seni khusus.
Seperti Dewey, Broudy menganggap “pengalaman yang secara estetis memuaskan …(adalah) kebalikan dari perjalanan yang membosankan, tak bermakna, tak berbentuk, da tak berujung. Namun, tidak seperti Dewey, Realisme klasik Broudy menyoroti kurikulum yang berkisar pada pemberian contoh (exemplar), yang diarahkan untuk memperoleh penegtahuan bukan sekedar memcahkan masalah.broudy, bersama Joe Bernett dan B. Othanel (Bunny’)) Smith, dan kemmudian dalam tulisan-tumisannya yang lain, melakukan studi tentang pemberian contoh sebagai wahana utama mencapai nilai-nilai ini. Program sekolah menengah yang ditawarkannya difokuskan pada apresiasi dan persepsi pola-pola karya seni “terbaik”, bukan pertunjukan tardisional dan karya-karya sanggar.
Dasar pemikiran untuk pendidikan musik dikembangkan oleh Broudy dalam bukunya tentang seni yang terbit pada tahun 1950, di mana ia meneliti pembentukan pemikiran dan selera oramng kebanyakan melalui cara bertutur, pikiran, dan seni popular, sebagai motif sekaligus ungkapannya. Pandangan Broudy tentang dasar filosofis untuk menggunakan musik “terbaik” penting sekali bagi profesi pendidikan musik. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, ia menulis berbagai makalah dan buku yang mendukung sentralitas pendidikan seni, termasuk buku yang berpengaruh, Enlightened Cherishing (1972), dan buku terbitan Getty Center, The Role Imagery (1987). Broody menyebutkan perjuangan pendidikan seni yang beralih dari periferi menuju inti pendidikan sekolah sebagai pertentangan antara “kesenangan” (nice) dan “kebutuhan” (necessary). Ia mengklaim bahwa imajinasi yang digali melalui pendidikan seni mmeberikan dukungan penting bagi fungsi-fungsi lain dari pikiran anak didik.
Dasar filosofisnya yang luas untuk pendidikan musik telah melahirkan filsafat pendidikan musik yang sangat jelas untuk pertama kalinya. Pada tingkat yang lebih mendasars, karya Broudy menghubungkan kembali apa yang dipisahkan oleh Kant dan pemikiran estetika yang mendominasi selama 200 tahun, yakni antara estetika dan etika. Dasar pemikiran etika Broudy tentang estetika mendekonstruksi dunia seni yang independent dan terisolasi, “seni untuk seni”, berdasarkan pandangan Plato dan Aristoteles tentang peran seni. Pandangannya tersebut berkembang dalam pendidikan dengan mengubah tujuan berbagai disiplin pendidikan seni menjadi tujuan pendidikan umum, memperngaruhi pendidikan dan kurikulum seni.independensi antara estetika dan etika muncul kembali dalam tulisan wayne Bowman tentang musik, Suzi Gablik tentang seni visual, dan penulis linkungan estetika. Dalam ayunan pendulum post-modernism, pandangan Broudy menandai pergeseran dari dekonstruksi menuju pemahaman baru tentang tujuan dan makna dalam pendidikan estetika.
C. Karya-karya Utama Broudy
• The Real World of the Public Schools, New York: Harcourt, Brace, 1972
• Enlightened Cherising: An Essay on Aesthetic Education, Urbana, II: University of illionis Press, 1972b.
• How Basic is Aesthetic Education?Oris ‘Rt the Fourth R’, Educatiobal Leadership, 1977
• The Role of Imagery in Learning. Los Angeles. California: The Getty Center for Education in the arts, 1987
• The Uses of Scooling, London: RRoutledge and Kegan Paul, 1988
• The free child, London: Herbert jemkins, 1953
• Summerhill, New york: Hart, 1960; London: gollancz, 1962
• Freedom not license!, New york: Hart, 1966
CARL ROGERS (1902-1987)
A. Riwayat Singkat
Carl Rogers adalah seorang psikolog Amerika penting yang namanya identik dengan pendidikan dan terapi tidak mengarahkan (non-directive). Ia mengembangkan suatu pendekatan fenomenologis subjektif terhadap konseling yang berpusat pada ide aktualisasi diri individu. Ide ini menawarkan alternative penting bagi model teraoi behavioris dan psiko analisis yang ada pada waktu itu dan sejalan dengan pendekatan tidak mengarahkan pada pendidikan.
Roger dilahirkan 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois. Ia adalah anak ke 4 dari keluarga yang mempunyai lima anak laki-laiki dan satu anak perempuan. Orang tuanya adalah penganut Kristen fundamentalis yang menerapkan pada diri mereka sendiri dan mengajarkan pada anak-anak mereka aturan perilaku yang tepat dan pentingnya kerja keras. Saat Rogers berusia 12 tahun, keluarganya pindah ke sebuah daerah pertanian 30 mil sebelah timur Chicago, dan di tempat inilah dia mengahabiskan masa remajanya. Dengan pendidikan yang keras dan kegiatan yang padat, kepribadian Rogers menjadi agak terisolasi, independent dan sangat disiplin. Pada tahun ke duanya di University of Winconsim, Roger telah memutuskan untuk menjadi seorang pendeta dengan kemudian ia menuntut ilmu di Union theological seminary, New york, dimana interaksinya dengan orang banyak membuatnya sadar bahwa ia tidak dapat membatasi dirinya pada bidang Agama saja dan akhirnya ia masuk ke Theachers college di Colombia University sampai lulus pada 1931. di Colombia, ia dipengruhi ole hide-ide John dewey, leta Holling worth dan William Kilpatrick.
B. Pedagogi Rogerian dan Konsep Aktualisasi Diri
Bertentangan dengan Freud yang memahami diri secara inhern bersifat agresif atau behavioris yang melihat diri sebagai hasil dari pengkondisian masa lalu, Rogers memiliki pandangan yang positif terhadap hakikat manusia. Ia percaya bahwa diri dapat otonom sekaligus tetap menjaga hubungan dengan orang lain. Ketika orang menemukan dan mengalami pikiran, perasaan, dan impuls (gerak hati) mereka sendiri serta belajar untuk menerimanya, maka mereka menjadi sumber dari lokus evaluasi independenya sendiri. Mereka tetap fleksibel dan terbuka terhadap perubahan. Peran orang tua, konselor, atau guru adalah memfasilitasi proses ini. Dengan menjadikan individu sebagai satu-satunya penilai (sole arbiter) bagi pengalamannya sendiri, Rogers melakukan dsentrelisasi hubungan kekuasaan tersebut dan dengan demikian mendorong pendekatan tidak mengarahkan yang menolak otoritas ahli.
Rogers menerapkan ide-ide terapeutiknya pada pendidikan dengan meng kritik keseragaman yang diyakininya diperlukan oleh pengajaran formal (formal instruction) serta kurikulum yang telah dibuat sebelumnya, evaluasi guru terhadap murid, dan model pengajaran guru sebagai ahli dan murid sebagai pelajar pasif. Ia menegaskan bahwa pendidikan sejati dalam bentuk aktualisasi diri tidak mungkin tercapai tanpa penyatuan kognisi dan emosi.
Ide Rogers tentang pendidikan sesuai dengan sisi yang lebih individualistik dari pendidikan progresif dan dengan perkembangan yang sejajar seperti gerakan klarifikasi nilai, pendidikan gaya Summerhil, ruangan kelas terbuka, dan penekanan pada peningkatan harga diri. Semua gerakan ini berkembang dari pertentangan performatif yang dirasakan antara tujuan dan praktik pendidikan. Meskipun tujuan pendidikan adalah melahirkan sosok yang mampu melakukan aktualisasi diri secara bebas, praktik pendidikan justru menegaskan ketergantungan anak didik pada guru dan menempatkan definisi dan evaluasi aktualisasi diri anak didik dibawah control guru. Oleh sebab itu, guru akan menentukan kapan anak didik telah mengaktualisasikan dirinya. Dengan demikian, ide dibalik pandangan Rogerian dan bentuk-bentuk pedagogi serupa adalah menyelesaikan kontradiksi tersebut dengan menempatkan anak didik dibawah control perkembangan mereka sendiri.
Pendidik juga perlu memperhatikan cirri sangat individualistic dari metode Rogerian. Karena metode tersebut pertama kali dijelaskan dalam konteks hubungan klien-trapis, orientasi ini kurang dapat dipahami. Meskipun demikian, pendidikan adalah kegiatan bersama di mana aktivitas seseorang didorongs dan dibatasi oleh kebutuhan dan kepentingan orang lain. Mempertahankan focus tertutup pada individu merupakan sesutu yang penting dan unik dalam kegiatan pendidikan, di mana pada proses belajar bersama, anak-anak juga mempelajari bagaimana cara belajar bersama. Jenis aktivitas ini memerlukan model belajar lebih social dan lebih interaktif daripada yang ditawarkan Rogers kepada kita.
C. Karya Utama Rogers
• Conseling and Psychotherapy, Boston, MA: Houggton Mifflin, 1942
• Freedom to Learn: A View of What Education Might Become, Colombus, OH: Charles E. Merril, 1969
• Carl Rogers, On Encounter Groups, New York: Harper & Row, 1970
IVAN ILLICH
(1926-2002)
A. Riwayat singkat
Ivan illich lahir sebagai anak sulung dari tiga bersaudara pada September 1926 di Wina, Austria. Ketaatan Illich pada Gereja tetap utuh selama masa mudanya yang bergolak. Saat merenungkan keberadaanya sebagagi anak yang harus mengikuti orang tuanya dan tak pernah belajar di sekolah tertentu, Illich menyebutkan bahwa ia sempat bepindahppindah tempat tinggal selama empat tahun di Dalmatia, Wina, dan Perancis, atau di manapun orang tuanya berada. Baru di rumah kakeknya di Wina, ia bertempat tinggal selama tahun 1930-an. Saat masih anak-anak inilah, perkembangan intelektual Illich bertambah bukan hanya karena belajar dari sejumlah guru privat yang mengajarkan berbagai bahasa (dan kemudian dikuasainya) dan membaca buku-buku dari perpustakaan pribadi milik neneknya, meliankan juga dari interaksinya dengan cendikiawan-cendikiawan penting yang menjadi sahabat orang tuanya (seperti Rudolf Steiner, Raine Maria Rilke, dan Jecques Maritain, belum lagi dokter keluarganya, Sigmund Freud). Illich dianggap terlallu muda untuk bersekolah, sehinga ia tidak segera dimasukkan ke sekolah meskipun sudah menunjukkan kecerdasan.
Pada 1938, serdadu Hilter menduduki Austria. Sebagai putra insinyur Dalmatia yang kaya dan ibu Yahudi Sphardic, Illich menjadi korban diskriminasi Nazi terhadap etnis Yahudi . Pada tahun 1941, bersama ibu dan saudara kembarnya, mereka meninggalkan Austria dan tinggal di Italia. Walaupun ia sulit menjelaskan keputusannya, pada periode inilah Illich memasuki Biara. Pada usia 24 tahun ia ditahbiskan menjadi pastur dan meraih gelar master dalalm bidang teologi dan filsafat dari Gregorian University, Roma. Tak lama kemudian ia memperolah gelar doctor filsafat sejarah dari University of Salzburg, dengan bimbingan professor Albert Aur dan Michael Muechlin, Illich mulai berminat pada metode sejarah dan interpretasi naskah lama. Auer, yang tulisannya mengenai teologi penderitaan (theology of suffering) abad ke-12 sangat relevan bagi Illich, membimbing Illich untuk menyelesaikan tesis doktoralnya tentang metode sejarah dan filsafat Albert Toynbee. Illich juga mempelajari kimia lanjut (kristalografi) di University of Florence.
B. Konsep Deshooling
Ivan Illich, sejarawan ikonoklaktis dan kritikus sosial, mengabdi sebagai pastur gereja, pengelola dan guru besar Universitas, direktur lembaga kajian, dosen, dan penulis. Ia sangat terkenal dikalangan pendidikan atas karya-karya yang ditulisnya pada akhir 1960 an dan 1970 an, terutama buku keduanya, dechooling society. Ketika Illich menyebutkan “Barat sebagai penyimpangan wahyu”, dapat dengan mudah disimpulan bahwa kepercayaan teologisnya mempengaruhi kritik sosisalnya. Namun, kesimpulan yang sama tak akan diperoleh bila hanya membaca dechooling society. Didorong oleh keyakinannya bahwa kekuasaan sekuler atau aktifisme sosial berada dibalik misi khusus gereja, Illich menyatakan dalam sebuah esai mengenai perlunya ‘Cita-cita humanis radikal” dan ‘ideologi sekuler” untuk merencanakan dan mencapai “Solusi baru bagi masalah-masalah sosisal”. Sehingga sampai saat ini, Illich menulis sebagai humanis radikal dengan bahasa sekuler untuk membahas permasalahan sosial. Oleh karena itu, mereka yang mempelajari Ivan Illich dianjurkan membacanya malalui kaca mata teologi dan sekuler.
Walaupun kecerdasan, sofistifikasi Aristokratik, dan kesalehannya mendukung Illich sebagai calon ideal untuk tugas diplomatic dari Vatikan, pandangan kritis Illich terhadap dimensi institusional gereja yang kemudian diungkapkan dalam tulisan-tulisannya membuatnya menolak belajar di Tollegeo (sekolah berasrama) gereja di Nobili Ecclesiastici. Pada 1951 ia memilih meninggalkan, untuk mengikuti program pasca dektoral dengan menulis desertasi tentang kimia berdasarkan karya Santo Albertus Magnus di Princeton University.
Namun setibanya di New York pada malam hari, sebuah percakapan setelah makan malam dirumah seorang temannya menyebabkan Illich membatalkan rencana tersebut. Topic percakapan mereka adalah masalah orang Puerto Rico di Newyork. Tidak lama kemudian, ia menemui Cardinal Spellman untuk minta ditugaskan ditengah jamaat Puerto Rico. Kardinal memnuhi keinginan pastur muda ini dan menugaskannya ke Incarnation parish di Washington Heights, komunitas yang secara histories terdiri dari orang Irlandia yang mengalami derasnya aliran masuk imigran Puerto Rico.
Bagi Keuskupan Agung New York, “masalah orang Puerto Rico” adalah “mengintegrasikan” para imigran ke dalalm agama Khatolik Amerika--- sebuah ide yang dianggap chauvinistic oleh Illich dan sangat bertentangan dengan kasih Kristus. Menurut Ilich, “superioritas cultural itu sangat kuat sebagaimana mannifestasi dosa asal berupa kekacauan bahasa di Babel. Proses memperoleh rahmat”, tegasnya, “melibatkan penelanjangan totoal nilai-nilai budaya, ‘indahnya kemiskinan budaya’ (beatitude of cultural poverty). Segera setelah melapor ke Incarnation Parish, ia mulai mengembangkan dan mempraktikkan pendekatan yang sangat berbeda. Ia mempelajari bahasa Spanyol selama tiga bulan, melibatkan dirinya dalam pola-pola orang Puerto Rico untuk memahami secara lebih baik bagaimana bisa bersahabat dengan mereka. Di sana ia berjalan kaki, menegendarai kuda, mengelilingi pulau untuk mempelajari dan melayani kebutuhan religius masyarakat Puerto Rico.
Sebagai bukti kesuksesannya melayani kebutuhan religius imigran Puerto Rico dan kesuksesannya berkarya di kalangan mereka telah menyebabkan dirinya menjadi monsinyur (hierarki dalam gereja Katolik) termuda—usia 29 tahun--- dalam sejarah gereja Amerika dan menjadi coordinator Office of Spanish-American Affairs.
Para pembaca Illich harus memahami bahwa pemikiran dan pendekatannya terhadap studi persekolahan dan pendidikan mulai bergeser bahkan sebelum penerbitan Deschooling Sosiety. Secara metodologis, analisis fenominologis yang digunakannya dalam Deschooling Sosiety bersumber dari minatnya terhadap ecclesiologi. Bagi Illich, ecclesiologi adalah “pendahulu sosiologi”, di dalamnya terdapat “kajian ilmiah terhadap komunitas tertentu yang menjadi cita-cita gereja dan ecclesiologi sudah ada sejak abad ke-4. salah satu esai dalam Deschooling Sosiety menyatakan :
"System sekolah saat ini menjalankan tiga fungsi umum greja sepanjang sejarahnya, yakni menjadi gudang mitos masyarakat, pelembagaan kontradiksi dalam mitos tersebut, dan lokus ritual yang memproduksi serta menyelubungi perbedaan antara mitos dan realitas".
Di Indonesia, gagasan untuk tidak sekolah sebagaimana konsep deschooling Illich, akhir-akhir ini mulai mengemuka. Hal itu terjadi sebagai respon terhadap bobroknya dunia pendidikan nasional. Dengan kata lain, gagasan Illich tersebut merupakan parody yang sangat tepat untuk menggambarkan eksistensi lembaga pendidikan nasional kita saat ini. Maka, diusulkannya “pendidikan alternative” untuk “menandingi” pendidikan ansinal. Salah stunya, digambarkan dalam Lebih Baik Tidak Sekolah tulisan Sujono Sambo, dengan memotret dan mengkaji secara khusus pendidikan alternative “Qaryah Thayyibah” di Kalibening, Salatiga.
Sebagai filsuf, Illich bisa dikategorikan sebagai teoritikus religius antiteknologi yang berbeda dengan antiteknologi sekuler, seperti Junger, Marcuse, Habermas dan lain-lain. Walaupun demikian, ia menentang setiap usaha kategorisasi dan kalsifikasi. Sebagio teoritikus antisekolahs, antiinstitusis dan antiteknologi, Illich sangat menyadari ciptaan-ciptaan yang membatasi kemungkinan memperluas persahabatan dengan yang lain melintasi batas-batas. Dalam semua tulisan Illich, perluasan dan penggalian philia, yakni cinta yang lahir dari persahabatan, merupakan minat utamanya.
C. Karya-karya Ivan Illich
• Deschooling Sosiety, New York: Harper & Row, 1970
• Medical Nemesis : The Expropriations of Health, New York: Pantheon, 1973
• Shadow Work, London: Marion Boyers, 1981
• Tools for Conviviality, New York: Harper & Row, 1973
PAULO FREIRE (1912-1997)
A. Biografi Singkat
Paulo Freire adalah salah satu penulis paling terkemuka dan berpengaruh mengenai teori dan praktik pendidikan kritis abad ke-20 dan tetap berpengaruh besar sampai saat ini. Ia dilahirkan di Recife, Brasil Timur laut, pada 19 September 1912. ia pertama kali dikenal secara internasional sebagai pendidik orang dewasa (adult educator) karena program melek huruf (literacy programme) yang dikembangkannya, dan menjadi ide inti pendidikan kritis. Pendidikan kritis Freire pada akhirnya melampaui pendidikan orang dewasa. Fokusnya pada peran pendidikan dalam perjuangan kaum tertindas dicirikan dengan perpaduan yang langka. Komitmen politik dan perspektif radikalnya menyatu dengan kesederhanaan pribadi, pandangan etika yang kuat, dan koherensi intelektual yang mengesankan.
B. Pendidikan Kritis dan Pendidikan Hadap Masalah
Para sarjana pendidikan kita telah sepakat secara penuh bahwa yang dimaksudkan dengan Pendidikan Kritis ialah seluruh gagasan yang pernah dikembangkan oleh Paulo Freire (1921-1997). Apa yang telah digagas oleh Freire bukan semata-mata sebatas wacana pendidikan saja. Namun lebih jauh Freire telah menggunakan pendekatan filosofis yang kemudian membangun paradigma Pendidikan Kritis.
Freire adalah tokoh pendidikan yang anti imperialisme, eksploitasi sekaligus penindasan terhadap potensi-potensi manusia. Setiap penindasan, baginya, tidak bisa ditolerir sebab tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Karena itulah Freire berpendapat bahwa pendidikan adalah untuk "memanusiakan manusia" (humanisasi). Dalam memahami kerangka filsafat Freire baiknya kita terlebih dahulu merunut pada akar persoalannya yang paling mendasar dari buah pikirannya. Freire dengan menggunakan pendekatan humanis membangun konsep pendidikannya mulai dari konsep manusia sebagai subyek aktif.
Pendidikan “Hadap Masalah” adalah teori dan metode pendidikan yang menjawab panggilan manusia untuk menjadi subyek, karena pengingkaran subyektifitas manusia sepanjang sejarah jumlahnya sama dengan manusia itu sendiri, sehingga muatan pendidikan harus dapat disesuaikan dengan permadalahan-permasalahan yang muncul. Hal ini bisa terjadi bila pendidikan yang menekankan aspek ”antropologi filosofis” menerima kepentingan sentral dari konsep filosofis tentang kesadaran dan konsep “antropologis” tentang kebudayaan. Pendidikan hadap masalah menegaskan manusia sebagai makhluk yang berada dalam proses menjadi (becoming), dan tidak pernah selesai, atau sebagai makhluks yang tidak pernah sempurna dalm dan dengan realitas. Pendidikan ini juga menumbuhkan interaksi manusia dengan dunianya, karena tugas pendidikan hadap masalah adalah memproblematisasi realitas politik dan budaya bahwa manusia menjadi bagian dari realitas tersebut.
Freire menggarisbawahi bahwa dalam pendidikan terdapat tiga unsur fundamental yakni; pengajar, peserta didik dan realitas dunia. Hubungan antara unsur pertama dengan unsur kedua seperti halnya teman yang saling melengkapi dalam proses pembelajaran. Keduanya tidak berfungsi secara struktural formal yang nantinya akan memisahkan keduanya. Bahkan Freire menengarai bahwa hubungan antara pengajar dan peserta didik yang bersifat struktural formal hanya akan melahirkan “pendidikan gaya bank” (banking concept of education).
"Pendidikan gaya bank" merupakan pola hubungan kontradiksi yang saling menekan. Ketika pengajar (guru) ditempatkan pada posisi di atas, maka peserta didik (murid) harus berada di bawah dengan menerima tekanan-tekanan otoritas sang guru. Oleh karena itu pendidikan seperti ini hanya akan melahirkan penindasan dan tidak sesuai dengan fitrah. Freire lebih menghendaki bahwa hubungan antara guru dan murid seperti halnya seorang teman atau partnership. Dengan model hubungan seperti ini memungkinkan pendidikan itu berjalan secara dialogis dan partisipatoris.
Posisi pengajar dan peserta didik oleh Freire dikategorikan sebagai subyek “yang sadar” (cognitive). Artinya kedua posisi ini sama-sama berfungsi sebagai subyek dalam proses pembelajaran. Peran guru hanya mewakili dari seorang teman (partnership) yang baik bagi muridnya. Adapun posisi realitas dunia menjadi medium atau obyek “yang disadari” (cognizable). Disinilah manusia itu belajar dari hidupnya. Dengan begitu manusia dalam konsep pendidikan Freire mendapati posisi sebagai subyek aktif. Manusia kemudian belajar dari realitas sebagai medium pembelajaran.
Pada dasarnya manusia itu memiliki “kebebasan” (freedom) dalam memilih dan berbuat, bahkan dalam menentukan nasibnya sendiri. Inilah fitroh manusia yang oleh Freire disebut sebagai the man’s ontological vocation. Karena kebebasan dalam memilih, mengembangkan potensi adalah fitrah manusia, maka tiap-tiap penindasan yang menafikan potensi manusia oleh Freire dipandang tidak manusiawi. Oleh karena itu ia menggagas bahwa pendidikan adalah "proses" untuk "memanusiakan manusia" (humanisasi).
Dalam kondisi sosial kaum terpinggirkan (marginal) terdapat beberapa karakter khas yang kemudian melahirkan persoalan kompleks. Penindasan adalah salah satu diantaranya yakni ketika otoritas penguasa lebih dominan dan mengeksploitasi manusia tanpa adil sedikit pun. Dengan sikap ketakutan dari kaum marginal itulah yang kemudian semakin menciptakan kesenjangan dalam kehidupan sosial. Orang-orang yang terpinggirkan itu kemudian semakin lemah, tidak berdaya atau semakin larut dalam “budaya bisu” (submerged in the culture of silence).
Mereka tidak mampu melawan otoritas sekelompok orang yang berkuasa sebab memang tidak mampu memahami diri dan realitas sosial. Salah satu persoalan yang menyebabkan mereka tersudutkan terus-menerus adalah faktor masyarakat yang buta huruf, buta wacana dan sebagainya. Untuk mengubah kondisi sosial masyarakat tertindas itulah, Freire menggagas gerakan “penyadaran”. Sebagai usaha membebaskan manusia dari keterbelakangan, kebodohan atau kebudayaan bisu yang selalu menakutkan.
Maksud dari gerakan penyadaran ini adalah agar manusia bisa mengenal realitas (lingkungan) sekaligus dirinya sendiri. Manusia bisa memahami kondisi kehidupannya yang terbelakang itu dengan kritis. Minimal dengan usaha penyadaran itu, manusia bisa memahami kondisi dirinya sendiri serta mampu menganalisa persoalan-persoalan yang menyebabkan-nya. Dalam hal ini Freire memetakan tipologi kesadaran manusia dalam empat kategori; Pertama, Magic Conscousness, Kedua Naival Consciousness; Ketiga Critical Consciousness dan Keempat, atau yang paling puncak adalah Transformation Consciousness.
Kesadaran Magis merupakan jenis kesadaran paling determinis. Seorang manusia tidak mampu memahami realitas sekaligus dirinya sendiri. Bahkan dalam menghadapi kehidupan sehari-harinya ia lebih percaya pada kekuatan taqdir yang telah menentukan. Bahwa ia harus hidup miskin, bodoh, terbelakang dan sebagainya adalah suatu "suratan taqdir" yang tidak bisa diganggu gugat.
Kesadaran Naif adalah jenis kesadaran yang sedikit berada di atas tingkatan-nya dibanding dengan sebelumnya. Kesadaran naif dalam diri manusia baru sebatas mengerti namun kurang bisa menganalisa persoalan-persoalan sosial yang berkaitan dengan unsur-unsur yang mendukung suatu problem sosial. Ia baru sekedar mengerti bahwa dirinya itu tertindas, terbelakang dan itu tidak lazim. Hanya saja kurang mampu untuk memetakan secara sistematis persoalan-persoalan yang mendukung suatu problem sosial itu. Apalagi untuk mengajukan suatu tawaran solusi dari problem sosial.
Kesadaran Kritis adalah jenis paling ideal di antara jenis kesadaran sebelumnya. Kesadaran kritis bersifat analitis sekaligus praksis. Seseorang itu mampu memahami persoalan sosial mulai dari pemetaan masalah, identifikasi serta mampu menentukan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Disamping itu ia mampu menawarkan solusi-solusi alternatif dari suatu problem sosial.
Kesadaran Transformative adalah puncak dari kesadaran kritis. Dalam istilah lain kesadaran ini adalah "kesadarannya kesadaran" (the conscie of the consciousness). Orang makin praksis dalam merumuskan suatu persoalan. Antara ide, perkataan dan tindakan serta progresifitas dalam posisi seimbang. Kesadaran transformative akan menjadikan manusia itu betul-betul dalam derajat sebagai manusia yang sempurna.
Setelah melewati proses penyadaran, pendidikan akan mampu membebaskan manusia dari belenggu hidup manusia. Dalam proses akhir ini, pendidikan akan membebaskan manusia sekaligus mengembalikan pada potensi-potensi fitri. Arti "kebebasan" (liberation) adalah pembebasan manusia dari belenggu-belenggu penindasan yang menghambat kehidupan secara lazim.Dalam hal ini proses pembebasan memiliki indikasi seperti; optimisme, resistent dan kritis. Sikap optimis inilah yang membangun manusia sebagai sosok yang penuh harapan. Adapun sikap resistent adalah karakter manusia yang paling dasar ketika mendapatkan tekanan-tekanan baik secara fisik maupun psikis dari penguasa. Sedangkan sikap kritis merupakan manifestasi dari sikap seseorang yang mampu memahami kondisi sosial serta dirinya dalam pergumulan secara langsung dengan manusia lain.
C. Karya-karya Utama Paulol Freire
• Pedagogi of the Oppressed, , diterjemahkan M.B. Ramos, Harmondsworth: Penguin, 1982; New York: Seabury Press, 1970
• Cultural Action for Freedom, Cambridge, Massachusetts:The Harvard Educational Review Monograph Series, no 1, 1970
• Education for Critical Consciousness, New York: Seabury Press, 1973
• Pedagogi of Hope: Reliving Pedagogy of The Oppressed, diterjemahkan R.R. bar, New York: Continuum, 1994
IGNASIUS (1491-1556)
A. Riwayat Singkat
Ignasius (1491-1556) dilahirkan di puri Loyola dari keluarga bangsawan dan kesatria, anak bungsu dari Beltran Yanez de Onaz dan Marina Sankhez de Licona. Semua kakak perempuannya menikah dengan keluarga bangsawan dari daerah itu. Mentalitas kesatria dengan segala atribut keperwiraaanya tampak pada diri Ignasius dalam pertempuran antara Spanyol dan Perancis di benteng Pamplona. Ignasius tetap mau berjuang mempertahankan benteng Pamplona, padahal kekuatannya sudah tidak berimbang. Sikap kesatrianya juuga tampak pada saat dia menjalani operasi pada kaki kakinya, dengan tabah dan tanpa mengeluh. Ia sunggguh menghayati kehidupannya sebagai kesatria. Pengalaman ketika kakinnya tertembak dalam perang mempertahankan benteng Pamplona ternyata juga menandai pembalikan orientasi arah hidup Ignasius. Harus diakui bahwa proses yang dialami Ignasius disaat sakit itu memang tidak datang begitu saja, tetapi melalui perenungan panjang-terus menerus. Cita-citanya tetap tinggi, tapi ia tumbuhkan dalam hatinya melalui pengalaman hiburan dan kesepian. Melalui pengalaman mistik di Manressa dan Montserrat, ia pun akhirnya mengalami pembalikan secara rohani, dari pengabdian sebagai kesatria kepada seorang putri yang bermartabat tinggi ke pengabdian kepada Kristus secara total. Ia sunguh menyadari kesia-siaan hidupnya di masa lampau, tetapi ia juga menginginkan agar perubahan hidupnya tidak sia-sia.
B. Pedagogi Transformatif dan Kesetiaan Kreatif
Sebagi seorang pendidik, Ignasius telah meletakkan dasar-dasar pijakan yang sangat kokoh mengenai pedagogi bagaimana manusia dengan roh, jiwa, dan tubuhnya dapat diolah secara integral. Dalam kaitannya dengan pedagogi yang dikembangkannya, kita dapat memahaminya dengan memiliki gagasan yang dikembangkan oleh Gerald A. Arbuckle tentang kepemimpinan. Di sini Arbuckle mengacu pada John R. Sheets yang berpendapat bahwa sebagai suatu upaya yang ditempuh untuk mengantar seseorang kepada pencapaian akan cita-cita dan tujuan tertentu, kepemimpinan dapat mengambil tiga bentuk.
Bentuk pertama, pneuma(tos), dan ini berhubungan erat dengan keberadaan roh yang selalu mau memberi dorongan dan gerakan. Pedagogi yang terjadi dilakukan dengan cara mengolah “roh”, lewat tindakan-tindakan yang mau memompa antusiasme positif dalm wujud pemberian motivasi, inspirasi dan semangat. Bentuk kedua dinamai ethoas; dan ini sesuai dengan keberadaan jiwa manusia. Pedagogi ditempuh dengan mengolah :jiwa”, melalui tindakan-tindakan yang mau membawa pada nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan. Bentuk ketiga disebut logos; dan ini sesuai dengan keberadaan tubuh manusia yang selalu mau mengajak kepada pengejawentahan semangat dan nilai-nilai dalam praksis lahiriah. Pedagogi yang terwujud adalah apa yang mengantar pada uapaya-upaya utnuk membuat keputusan-keputusan konkret. Pedagogi yang mengikutsertakan unsure pneumatos, ethos, dan logos jelas mendapat perhatian besar dari Ignasius dan para pengikutnya. Dalam upaya untuk melakukan pedagogi yang mengikutsertakan unsure pneumatos, ethos dan logos, peran dialektika antara teori dan praktik menjadi sangat penting. Melalui latihan-latihan entah dalam bentuk “eksperimen”, “probasi” ataupun live-in, orang dikondisikan untuk tidak hanya “mengetahui”, tetapi juga “mengalami”.
Ignasius memang seorang pendidik yang bijaksana. Dengan ini, dapat dikatakan bahwa Ignasius tidak menghendaki penyusunan-penyusunan suatu aturan-aturan yang berupa “petunjuk pelaksanaan (jiklak)” secara beku dan mati. Apa yang lebih ditekankan olehnya adalah identifikasi akan prinsip yang menjadi “roh” di balik rumusan-rumusan, dan kemampuan orang untuk mengingkarnasikannya dalam cara bertindak yang sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu. Terkait dengan hal ini, kita dapat ingat gagasan Peter Hans-Peter Kolvenbach seputar “kesetiaan yang kreatif (creative fidelity)”. Beliau melihat perlunya upaya untuk terus-menerus membuat inisiatif-inisiatif baru, yang arahnya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menemukan, merumuskan, dan menjangkau seoptimal mungkin jawaban atas tantangan dan peluang yang muncul dalam medan putusan yang konkret. Zaman kita sekarang menuntut system nilai tertentu, beberapa di antaranya adalah atheisme, agnostisisme, intelektualisme, sekularisme, konsumerisme, dan materialisme. Disamping itu, disadari atau tidak, masyarakat kita juga ditandai dengan “budaya instant”. Lalu, pertanyaanya adalah, bagaimanakah kita sebagai kaum berpendidikan dapat mengintegrasikan aspek iman-pengetahuan-tindakan yang terkait dengan bagian roh-jiwa-tubuh melalui proses pneumatos, ethos, dan logos dalam dialektika teori-praktik untuk menghadapi system-sistem nilail dan kebiasaan negative seperti tersebut di atas?
Harus kita akui, pertama-tama, bahwa system yang negative seperti yang disebut di atas sudah mengakar dalam dunia pendidikan. Salah satu ciri system pendidikan kita yang mau memberi tekanan pada hsil kelulusan siswa, lebih daripada proses pembentukan karakter manusia, adalah bukti adanya pengaruh system nilai yang negative tersebut. Penerimaan peserta didik dalm jumlah yang banyak, tidak adanya interaksi yang baik antara pendidik dengan peserta didik, metode pembelajaran yang membuat peserta didik mengalami tekanan lebih daripada metode yang menjadikan peserta didik mampu belajar dengan senang, dan mampu menerapkan keilmuannya dalam kehidupan sehari-hari demi perkembangan kehidupan manusia --- system pendidikan yang bermuara pada egoisme, dan bukannya pada kerjasama untuk saling menghargai, sudah begitu jamak kita temukan dalam pembicaraan tentang system pendidikan kita saat ini.
BIBLIOGRAFI
-Palmer, Joy A. (ed.), 50 Pemikir Pendidikan dari Piaget Sampai Masa Sekarang, Yogyakarta: Jendela cet-1, 2003
-Colwell, R., “Goodness and Greatness: Broudy Music Education”. Journal of Aestheti Education 26, 4, hlm. 37-48
-Boeree, C. George, Personality Theories (Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia), Jogjakarta: Prismasophie, 2006
-Thorne, Brian, Calr Rogers, London: Sage Publications, 1992
Eleanor Feinberg dan Walter Feinberg, Carl Rogers 91902-1987) dalam 50 Pemikir Pendidikan, Joy A. Palmer (ed.)
-Downing, Stephane, Holocaust: Fakta atau Fiksi?, Yogyakarta, MedPress, cet-1, 2007
Samba, Sujono, Lebih Baik Tidak Sekolah, Jogjakarta, LKiS, 2007
-Jawa Pos, Minggu 22 Juli 2007, hlm. 9
-M. Yunus, Firdaus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005
-Bdk., Jacobs, T., “Ligkungan Keluarga”, dalam Luis Goncalves da Camara, Wasiat dan Petuah St. Ignasius,Yogyakarta: Kanisius, 1996
-Prakoso, Heru, dkk., Prinsip Pedagogi Transformatif dan Kesetiaan Kreatif dalam “Basis” No 07-08, tahu ke-56, Juli-Agustus 2007
*Tulisan ini merupakan hasil revisi makalah Perbandingan Pendidikan, dosen pembimbing Muhlisin, M.Pd.I.
BAHAUDDIN
HARRY BROUDY (1905-1998)
A. Riwayat Singkat
Harry Broudy dilahirkan di Polandia dari keluarga Yahudi yang kaya, abak sulung dari empat bersaudara dan mengawali pendidikannya di Cheder (ruang belajar khas warga Yahudi) tradisional. Ia berimigarsi dengan keluarganya ke Massachusetts pada tahun 1912 dan memasuki sekolah Amerika tanpa penegtahuan bahasa Inggris sama sekali. Ia meraih gelar BA untuk Sastra dan Filsafat Jerman dari Boston University (1929) dan Ph.D. dalam Filsafat dari Harvard (1935), fokus utamanya adalah pada Kirkegaard Bergson dan William James.
Broudy mendalami pendidikan terutama karena munculnya anti Semitisme di universitas-universitas Amerika yang tidak mendukung terlibatnya orang-orang Yahudi dalan Ivy Leagues (sekumpulan college di kawasan timur laut Amerika Serikat yang membentuk liga untuk olah raga antar-college istilah ini seirng digunakan untuk menunjukkan gaya busana, standar sikap dan lain-lain dari para mahasiswanya. Walaupun gelar Harvard yang diterimanya di bawah bimbingan Whitehead dan Perry, ia hanya bekerja di Nort Adam State Teachers College (1937) sebagai pengajar Psikologi Umum dan Filsafat Pendidikan. Di sana ia bertemu dan menikah dengan Dorothy Hogarth (1947), puteri seoarang petani dan perempuan berbakat yang mendukung Broudy dengan pelbagai cara seperti mengatur waktu, mengetik makalah memperbaiki kran, dan melakukan tugas-tugas penting lainnya. Anak laki-lakinya lahir di Massachusetts.
Pada tahun 1957 Broudy diterima di College of Education University of Illinois yang juga sebagai indicator kejayaan karir keduanya yang produktif dan memuaskan. Di sana ia tidak lagi tertarik dan tidak berminat bekerja pada jurusan Filsafat. Ia lebih memusatkakn perhatiannya pada bidang pendidikan dengan meneliti bidang kurikulum dan pendidikan menengah (secondary education) dan tinggi (tertiary education) serta mengembangkan ide-idenya tentang pemanfaatan sekolah. Meskipun ia telah pensiun pada tahun 1974, ia masih aktif dalam komite-komite kampus, mengajar memberikan nasihat dan kegiatan akademis selama lima belas tahun berikutnya. Selain itu ia juga memperoleh kehormatan melalaui diselenggarakannya sebuah konferensi tentang “Pemenfaatan Pengetahuan Kehiudpan Pribadi dan Layanan Profesional”. Broody tinggal di Urbana sampai meninggal dunia dan saat usianya sudah mencapai sembilan puluh tahun masih dapat dilihat berjalan cepat di jalan yang ramai (bahkan tanpa tertabrak mobil) di Race Street yang menghubungkan rumahnya dengan kampus.
B. Filsafat Pendidikan Seni dan Estetika
Jenis pendidikan sekolah apa yang diperlukan untuk mecapai harapan cerah? Pengetahuan memberikan sumbangan bagi pencerahan, tapi pengetahuan yang mencerahkan harapan meliputi pengetahuan ilmiah dan penegtahuan nilai …pengetahuan untuk harapan cerah kadang disebut kearifan, yang memadukan penegtahuan manusia dengan kejernihan berpikir tentang apa yang dapat dan tidak dapat dicapai.
Broudy dianggap sebagai filsuf utama Pendidikan pada paruh kedua abad ke-20. akan tetapi pengaruh utamanya yang tertuang dalam tulisan pendidikan estetika menegenai bidang seni visual, kurang diakui tetapi tidak kurang penting, termasuk pendidikan musik. Pada awal 1950, pendidikan estetika muncul sebagai inti pemikirannya bahkan dalam membahas masalah-masalah pendidikan umum, seperti penggunaan pendidikan sekolah atau pembahasan tentang bagaimana disiplin-disiplin intelektual dapat ditransformasikan ke dalam program-program pendidikan umum pada masyarakat demokratis). Kepindahannya ke University of Illinois, yang memiliki program seni visual dan seni musik sangat baik, memperkuat minat dan pengaruhnya dalalm dalam pendidikan estetika. Charles Leonhard, seorang pendidik musik yang kharismatik dengan komitmen mendalam pada estetika dan implikasinya terhadap praktik, kala itu sedang dalam proses mendirikan program doctoral untuk pendidikan musik--- yang kenudian menjadi terkenal. Ia mengenal Broudy sebagai sarjana terkemuka dan meminta mahasiswanya untuk mengikuti kuliah-kuliah Broudy, termasuk para calon pendidik musik termuka seperti Bannet, Reimer, dan Wayne Bowman, yang mengembangkan ide-idenya lebih lanjut dallam bidang filsafat pendidikan musik. Sehingga pengaruh jangka panjang ide Broudy dapat dilihat melalui mahasiswa yang belajar kepadanya di Illinois dan juga melalui tulisan-tulisan tentang filsafat pendidikan musik.
Janji Broudy adalah bahwa kehidupan akan lebih baik, jika melalui pendidikan, citarasa seseorang dapat diubah mendekati citrarasa ahli seni (connoisseur), terbentuk landasan berfikir (rational) bagi pendidikan estetika dan diutamakannya apresiasi seni sebagai cara untuk mencapai “melek seni” (asthetic literacy). Ia menyatakan bahwa disiplin pendidikan seni terdiri dari sekumpulan penegtahuan yang didasarkan pada keahlian dan kesarjanaan, melampaui unjuk kemampuan (exposure), dan pengungkapan diri (self-expression). Pendidikan imajinasi berarti bahwa anak didik mendapat imaji-imaji seni yang berfungsi sebagai sumber assosiatif dan interpretative, dengan memberikan konteks yang memperluas dan memperdalam pemahaman. Seni akan mengsisi peran yang sama dengan kemanusiaan--- mengajarkan nilai menambah keindahan, mengurangi keburukan dan kebencian. Sehingga seni lebih mengadopsi tujuan pendidikan umum, bukan tujuan pendidikan seni khusus.
Seperti Dewey, Broudy menganggap “pengalaman yang secara estetis memuaskan …(adalah) kebalikan dari perjalanan yang membosankan, tak bermakna, tak berbentuk, da tak berujung. Namun, tidak seperti Dewey, Realisme klasik Broudy menyoroti kurikulum yang berkisar pada pemberian contoh (exemplar), yang diarahkan untuk memperoleh penegtahuan bukan sekedar memcahkan masalah.broudy, bersama Joe Bernett dan B. Othanel (Bunny’)) Smith, dan kemmudian dalam tulisan-tumisannya yang lain, melakukan studi tentang pemberian contoh sebagai wahana utama mencapai nilai-nilai ini. Program sekolah menengah yang ditawarkannya difokuskan pada apresiasi dan persepsi pola-pola karya seni “terbaik”, bukan pertunjukan tardisional dan karya-karya sanggar.
Dasar pemikiran untuk pendidikan musik dikembangkan oleh Broudy dalam bukunya tentang seni yang terbit pada tahun 1950, di mana ia meneliti pembentukan pemikiran dan selera oramng kebanyakan melalui cara bertutur, pikiran, dan seni popular, sebagai motif sekaligus ungkapannya. Pandangan Broudy tentang dasar filosofis untuk menggunakan musik “terbaik” penting sekali bagi profesi pendidikan musik. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, ia menulis berbagai makalah dan buku yang mendukung sentralitas pendidikan seni, termasuk buku yang berpengaruh, Enlightened Cherishing (1972), dan buku terbitan Getty Center, The Role Imagery (1987). Broody menyebutkan perjuangan pendidikan seni yang beralih dari periferi menuju inti pendidikan sekolah sebagai pertentangan antara “kesenangan” (nice) dan “kebutuhan” (necessary). Ia mengklaim bahwa imajinasi yang digali melalui pendidikan seni mmeberikan dukungan penting bagi fungsi-fungsi lain dari pikiran anak didik.
Dasar filosofisnya yang luas untuk pendidikan musik telah melahirkan filsafat pendidikan musik yang sangat jelas untuk pertama kalinya. Pada tingkat yang lebih mendasars, karya Broudy menghubungkan kembali apa yang dipisahkan oleh Kant dan pemikiran estetika yang mendominasi selama 200 tahun, yakni antara estetika dan etika. Dasar pemikiran etika Broudy tentang estetika mendekonstruksi dunia seni yang independent dan terisolasi, “seni untuk seni”, berdasarkan pandangan Plato dan Aristoteles tentang peran seni. Pandangannya tersebut berkembang dalam pendidikan dengan mengubah tujuan berbagai disiplin pendidikan seni menjadi tujuan pendidikan umum, memperngaruhi pendidikan dan kurikulum seni.independensi antara estetika dan etika muncul kembali dalam tulisan wayne Bowman tentang musik, Suzi Gablik tentang seni visual, dan penulis linkungan estetika. Dalam ayunan pendulum post-modernism, pandangan Broudy menandai pergeseran dari dekonstruksi menuju pemahaman baru tentang tujuan dan makna dalam pendidikan estetika.
C. Karya-karya Utama Broudy
• The Real World of the Public Schools, New York: Harcourt, Brace, 1972
• Enlightened Cherising: An Essay on Aesthetic Education, Urbana, II: University of illionis Press, 1972b.
• How Basic is Aesthetic Education?Oris ‘Rt the Fourth R’, Educatiobal Leadership, 1977
• The Role of Imagery in Learning. Los Angeles. California: The Getty Center for Education in the arts, 1987
• The Uses of Scooling, London: RRoutledge and Kegan Paul, 1988
• The free child, London: Herbert jemkins, 1953
• Summerhill, New york: Hart, 1960; London: gollancz, 1962
• Freedom not license!, New york: Hart, 1966
CARL ROGERS (1902-1987)
A. Riwayat Singkat
Carl Rogers adalah seorang psikolog Amerika penting yang namanya identik dengan pendidikan dan terapi tidak mengarahkan (non-directive). Ia mengembangkan suatu pendekatan fenomenologis subjektif terhadap konseling yang berpusat pada ide aktualisasi diri individu. Ide ini menawarkan alternative penting bagi model teraoi behavioris dan psiko analisis yang ada pada waktu itu dan sejalan dengan pendekatan tidak mengarahkan pada pendidikan.
Roger dilahirkan 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois. Ia adalah anak ke 4 dari keluarga yang mempunyai lima anak laki-laiki dan satu anak perempuan. Orang tuanya adalah penganut Kristen fundamentalis yang menerapkan pada diri mereka sendiri dan mengajarkan pada anak-anak mereka aturan perilaku yang tepat dan pentingnya kerja keras. Saat Rogers berusia 12 tahun, keluarganya pindah ke sebuah daerah pertanian 30 mil sebelah timur Chicago, dan di tempat inilah dia mengahabiskan masa remajanya. Dengan pendidikan yang keras dan kegiatan yang padat, kepribadian Rogers menjadi agak terisolasi, independent dan sangat disiplin. Pada tahun ke duanya di University of Winconsim, Roger telah memutuskan untuk menjadi seorang pendeta dengan kemudian ia menuntut ilmu di Union theological seminary, New york, dimana interaksinya dengan orang banyak membuatnya sadar bahwa ia tidak dapat membatasi dirinya pada bidang Agama saja dan akhirnya ia masuk ke Theachers college di Colombia University sampai lulus pada 1931. di Colombia, ia dipengruhi ole hide-ide John dewey, leta Holling worth dan William Kilpatrick.
B. Pedagogi Rogerian dan Konsep Aktualisasi Diri
Bertentangan dengan Freud yang memahami diri secara inhern bersifat agresif atau behavioris yang melihat diri sebagai hasil dari pengkondisian masa lalu, Rogers memiliki pandangan yang positif terhadap hakikat manusia. Ia percaya bahwa diri dapat otonom sekaligus tetap menjaga hubungan dengan orang lain. Ketika orang menemukan dan mengalami pikiran, perasaan, dan impuls (gerak hati) mereka sendiri serta belajar untuk menerimanya, maka mereka menjadi sumber dari lokus evaluasi independenya sendiri. Mereka tetap fleksibel dan terbuka terhadap perubahan. Peran orang tua, konselor, atau guru adalah memfasilitasi proses ini. Dengan menjadikan individu sebagai satu-satunya penilai (sole arbiter) bagi pengalamannya sendiri, Rogers melakukan dsentrelisasi hubungan kekuasaan tersebut dan dengan demikian mendorong pendekatan tidak mengarahkan yang menolak otoritas ahli.
Rogers menerapkan ide-ide terapeutiknya pada pendidikan dengan meng kritik keseragaman yang diyakininya diperlukan oleh pengajaran formal (formal instruction) serta kurikulum yang telah dibuat sebelumnya, evaluasi guru terhadap murid, dan model pengajaran guru sebagai ahli dan murid sebagai pelajar pasif. Ia menegaskan bahwa pendidikan sejati dalam bentuk aktualisasi diri tidak mungkin tercapai tanpa penyatuan kognisi dan emosi.
Ide Rogers tentang pendidikan sesuai dengan sisi yang lebih individualistik dari pendidikan progresif dan dengan perkembangan yang sejajar seperti gerakan klarifikasi nilai, pendidikan gaya Summerhil, ruangan kelas terbuka, dan penekanan pada peningkatan harga diri. Semua gerakan ini berkembang dari pertentangan performatif yang dirasakan antara tujuan dan praktik pendidikan. Meskipun tujuan pendidikan adalah melahirkan sosok yang mampu melakukan aktualisasi diri secara bebas, praktik pendidikan justru menegaskan ketergantungan anak didik pada guru dan menempatkan definisi dan evaluasi aktualisasi diri anak didik dibawah control guru. Oleh sebab itu, guru akan menentukan kapan anak didik telah mengaktualisasikan dirinya. Dengan demikian, ide dibalik pandangan Rogerian dan bentuk-bentuk pedagogi serupa adalah menyelesaikan kontradiksi tersebut dengan menempatkan anak didik dibawah control perkembangan mereka sendiri.
Pendidik juga perlu memperhatikan cirri sangat individualistic dari metode Rogerian. Karena metode tersebut pertama kali dijelaskan dalam konteks hubungan klien-trapis, orientasi ini kurang dapat dipahami. Meskipun demikian, pendidikan adalah kegiatan bersama di mana aktivitas seseorang didorongs dan dibatasi oleh kebutuhan dan kepentingan orang lain. Mempertahankan focus tertutup pada individu merupakan sesutu yang penting dan unik dalam kegiatan pendidikan, di mana pada proses belajar bersama, anak-anak juga mempelajari bagaimana cara belajar bersama. Jenis aktivitas ini memerlukan model belajar lebih social dan lebih interaktif daripada yang ditawarkan Rogers kepada kita.
C. Karya Utama Rogers
• Conseling and Psychotherapy, Boston, MA: Houggton Mifflin, 1942
• Freedom to Learn: A View of What Education Might Become, Colombus, OH: Charles E. Merril, 1969
• Carl Rogers, On Encounter Groups, New York: Harper & Row, 1970
IVAN ILLICH
(1926-2002)
A. Riwayat singkat
Ivan illich lahir sebagai anak sulung dari tiga bersaudara pada September 1926 di Wina, Austria. Ketaatan Illich pada Gereja tetap utuh selama masa mudanya yang bergolak. Saat merenungkan keberadaanya sebagagi anak yang harus mengikuti orang tuanya dan tak pernah belajar di sekolah tertentu, Illich menyebutkan bahwa ia sempat bepindahppindah tempat tinggal selama empat tahun di Dalmatia, Wina, dan Perancis, atau di manapun orang tuanya berada. Baru di rumah kakeknya di Wina, ia bertempat tinggal selama tahun 1930-an. Saat masih anak-anak inilah, perkembangan intelektual Illich bertambah bukan hanya karena belajar dari sejumlah guru privat yang mengajarkan berbagai bahasa (dan kemudian dikuasainya) dan membaca buku-buku dari perpustakaan pribadi milik neneknya, meliankan juga dari interaksinya dengan cendikiawan-cendikiawan penting yang menjadi sahabat orang tuanya (seperti Rudolf Steiner, Raine Maria Rilke, dan Jecques Maritain, belum lagi dokter keluarganya, Sigmund Freud). Illich dianggap terlallu muda untuk bersekolah, sehinga ia tidak segera dimasukkan ke sekolah meskipun sudah menunjukkan kecerdasan.
Pada 1938, serdadu Hilter menduduki Austria. Sebagai putra insinyur Dalmatia yang kaya dan ibu Yahudi Sphardic, Illich menjadi korban diskriminasi Nazi terhadap etnis Yahudi . Pada tahun 1941, bersama ibu dan saudara kembarnya, mereka meninggalkan Austria dan tinggal di Italia. Walaupun ia sulit menjelaskan keputusannya, pada periode inilah Illich memasuki Biara. Pada usia 24 tahun ia ditahbiskan menjadi pastur dan meraih gelar master dalalm bidang teologi dan filsafat dari Gregorian University, Roma. Tak lama kemudian ia memperolah gelar doctor filsafat sejarah dari University of Salzburg, dengan bimbingan professor Albert Aur dan Michael Muechlin, Illich mulai berminat pada metode sejarah dan interpretasi naskah lama. Auer, yang tulisannya mengenai teologi penderitaan (theology of suffering) abad ke-12 sangat relevan bagi Illich, membimbing Illich untuk menyelesaikan tesis doktoralnya tentang metode sejarah dan filsafat Albert Toynbee. Illich juga mempelajari kimia lanjut (kristalografi) di University of Florence.
B. Konsep Deshooling
Ivan Illich, sejarawan ikonoklaktis dan kritikus sosial, mengabdi sebagai pastur gereja, pengelola dan guru besar Universitas, direktur lembaga kajian, dosen, dan penulis. Ia sangat terkenal dikalangan pendidikan atas karya-karya yang ditulisnya pada akhir 1960 an dan 1970 an, terutama buku keduanya, dechooling society. Ketika Illich menyebutkan “Barat sebagai penyimpangan wahyu”, dapat dengan mudah disimpulan bahwa kepercayaan teologisnya mempengaruhi kritik sosisalnya. Namun, kesimpulan yang sama tak akan diperoleh bila hanya membaca dechooling society. Didorong oleh keyakinannya bahwa kekuasaan sekuler atau aktifisme sosial berada dibalik misi khusus gereja, Illich menyatakan dalam sebuah esai mengenai perlunya ‘Cita-cita humanis radikal” dan ‘ideologi sekuler” untuk merencanakan dan mencapai “Solusi baru bagi masalah-masalah sosisal”. Sehingga sampai saat ini, Illich menulis sebagai humanis radikal dengan bahasa sekuler untuk membahas permasalahan sosial. Oleh karena itu, mereka yang mempelajari Ivan Illich dianjurkan membacanya malalui kaca mata teologi dan sekuler.
Walaupun kecerdasan, sofistifikasi Aristokratik, dan kesalehannya mendukung Illich sebagai calon ideal untuk tugas diplomatic dari Vatikan, pandangan kritis Illich terhadap dimensi institusional gereja yang kemudian diungkapkan dalam tulisan-tulisannya membuatnya menolak belajar di Tollegeo (sekolah berasrama) gereja di Nobili Ecclesiastici. Pada 1951 ia memilih meninggalkan, untuk mengikuti program pasca dektoral dengan menulis desertasi tentang kimia berdasarkan karya Santo Albertus Magnus di Princeton University.
Namun setibanya di New York pada malam hari, sebuah percakapan setelah makan malam dirumah seorang temannya menyebabkan Illich membatalkan rencana tersebut. Topic percakapan mereka adalah masalah orang Puerto Rico di Newyork. Tidak lama kemudian, ia menemui Cardinal Spellman untuk minta ditugaskan ditengah jamaat Puerto Rico. Kardinal memnuhi keinginan pastur muda ini dan menugaskannya ke Incarnation parish di Washington Heights, komunitas yang secara histories terdiri dari orang Irlandia yang mengalami derasnya aliran masuk imigran Puerto Rico.
Bagi Keuskupan Agung New York, “masalah orang Puerto Rico” adalah “mengintegrasikan” para imigran ke dalalm agama Khatolik Amerika--- sebuah ide yang dianggap chauvinistic oleh Illich dan sangat bertentangan dengan kasih Kristus. Menurut Ilich, “superioritas cultural itu sangat kuat sebagaimana mannifestasi dosa asal berupa kekacauan bahasa di Babel. Proses memperoleh rahmat”, tegasnya, “melibatkan penelanjangan totoal nilai-nilai budaya, ‘indahnya kemiskinan budaya’ (beatitude of cultural poverty). Segera setelah melapor ke Incarnation Parish, ia mulai mengembangkan dan mempraktikkan pendekatan yang sangat berbeda. Ia mempelajari bahasa Spanyol selama tiga bulan, melibatkan dirinya dalam pola-pola orang Puerto Rico untuk memahami secara lebih baik bagaimana bisa bersahabat dengan mereka. Di sana ia berjalan kaki, menegendarai kuda, mengelilingi pulau untuk mempelajari dan melayani kebutuhan religius masyarakat Puerto Rico.
Sebagai bukti kesuksesannya melayani kebutuhan religius imigran Puerto Rico dan kesuksesannya berkarya di kalangan mereka telah menyebabkan dirinya menjadi monsinyur (hierarki dalam gereja Katolik) termuda—usia 29 tahun--- dalam sejarah gereja Amerika dan menjadi coordinator Office of Spanish-American Affairs.
Para pembaca Illich harus memahami bahwa pemikiran dan pendekatannya terhadap studi persekolahan dan pendidikan mulai bergeser bahkan sebelum penerbitan Deschooling Sosiety. Secara metodologis, analisis fenominologis yang digunakannya dalam Deschooling Sosiety bersumber dari minatnya terhadap ecclesiologi. Bagi Illich, ecclesiologi adalah “pendahulu sosiologi”, di dalamnya terdapat “kajian ilmiah terhadap komunitas tertentu yang menjadi cita-cita gereja dan ecclesiologi sudah ada sejak abad ke-4. salah satu esai dalam Deschooling Sosiety menyatakan :
"System sekolah saat ini menjalankan tiga fungsi umum greja sepanjang sejarahnya, yakni menjadi gudang mitos masyarakat, pelembagaan kontradiksi dalam mitos tersebut, dan lokus ritual yang memproduksi serta menyelubungi perbedaan antara mitos dan realitas".
Di Indonesia, gagasan untuk tidak sekolah sebagaimana konsep deschooling Illich, akhir-akhir ini mulai mengemuka. Hal itu terjadi sebagai respon terhadap bobroknya dunia pendidikan nasional. Dengan kata lain, gagasan Illich tersebut merupakan parody yang sangat tepat untuk menggambarkan eksistensi lembaga pendidikan nasional kita saat ini. Maka, diusulkannya “pendidikan alternative” untuk “menandingi” pendidikan ansinal. Salah stunya, digambarkan dalam Lebih Baik Tidak Sekolah tulisan Sujono Sambo, dengan memotret dan mengkaji secara khusus pendidikan alternative “Qaryah Thayyibah” di Kalibening, Salatiga.
Sebagai filsuf, Illich bisa dikategorikan sebagai teoritikus religius antiteknologi yang berbeda dengan antiteknologi sekuler, seperti Junger, Marcuse, Habermas dan lain-lain. Walaupun demikian, ia menentang setiap usaha kategorisasi dan kalsifikasi. Sebagio teoritikus antisekolahs, antiinstitusis dan antiteknologi, Illich sangat menyadari ciptaan-ciptaan yang membatasi kemungkinan memperluas persahabatan dengan yang lain melintasi batas-batas. Dalam semua tulisan Illich, perluasan dan penggalian philia, yakni cinta yang lahir dari persahabatan, merupakan minat utamanya.
C. Karya-karya Ivan Illich
• Deschooling Sosiety, New York: Harper & Row, 1970
• Medical Nemesis : The Expropriations of Health, New York: Pantheon, 1973
• Shadow Work, London: Marion Boyers, 1981
• Tools for Conviviality, New York: Harper & Row, 1973
PAULO FREIRE (1912-1997)
A. Biografi Singkat
Paulo Freire adalah salah satu penulis paling terkemuka dan berpengaruh mengenai teori dan praktik pendidikan kritis abad ke-20 dan tetap berpengaruh besar sampai saat ini. Ia dilahirkan di Recife, Brasil Timur laut, pada 19 September 1912. ia pertama kali dikenal secara internasional sebagai pendidik orang dewasa (adult educator) karena program melek huruf (literacy programme) yang dikembangkannya, dan menjadi ide inti pendidikan kritis. Pendidikan kritis Freire pada akhirnya melampaui pendidikan orang dewasa. Fokusnya pada peran pendidikan dalam perjuangan kaum tertindas dicirikan dengan perpaduan yang langka. Komitmen politik dan perspektif radikalnya menyatu dengan kesederhanaan pribadi, pandangan etika yang kuat, dan koherensi intelektual yang mengesankan.
B. Pendidikan Kritis dan Pendidikan Hadap Masalah
Para sarjana pendidikan kita telah sepakat secara penuh bahwa yang dimaksudkan dengan Pendidikan Kritis ialah seluruh gagasan yang pernah dikembangkan oleh Paulo Freire (1921-1997). Apa yang telah digagas oleh Freire bukan semata-mata sebatas wacana pendidikan saja. Namun lebih jauh Freire telah menggunakan pendekatan filosofis yang kemudian membangun paradigma Pendidikan Kritis.
Freire adalah tokoh pendidikan yang anti imperialisme, eksploitasi sekaligus penindasan terhadap potensi-potensi manusia. Setiap penindasan, baginya, tidak bisa ditolerir sebab tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Karena itulah Freire berpendapat bahwa pendidikan adalah untuk "memanusiakan manusia" (humanisasi). Dalam memahami kerangka filsafat Freire baiknya kita terlebih dahulu merunut pada akar persoalannya yang paling mendasar dari buah pikirannya. Freire dengan menggunakan pendekatan humanis membangun konsep pendidikannya mulai dari konsep manusia sebagai subyek aktif.
Pendidikan “Hadap Masalah” adalah teori dan metode pendidikan yang menjawab panggilan manusia untuk menjadi subyek, karena pengingkaran subyektifitas manusia sepanjang sejarah jumlahnya sama dengan manusia itu sendiri, sehingga muatan pendidikan harus dapat disesuaikan dengan permadalahan-permasalahan yang muncul. Hal ini bisa terjadi bila pendidikan yang menekankan aspek ”antropologi filosofis” menerima kepentingan sentral dari konsep filosofis tentang kesadaran dan konsep “antropologis” tentang kebudayaan. Pendidikan hadap masalah menegaskan manusia sebagai makhluk yang berada dalam proses menjadi (becoming), dan tidak pernah selesai, atau sebagai makhluks yang tidak pernah sempurna dalm dan dengan realitas. Pendidikan ini juga menumbuhkan interaksi manusia dengan dunianya, karena tugas pendidikan hadap masalah adalah memproblematisasi realitas politik dan budaya bahwa manusia menjadi bagian dari realitas tersebut.
Freire menggarisbawahi bahwa dalam pendidikan terdapat tiga unsur fundamental yakni; pengajar, peserta didik dan realitas dunia. Hubungan antara unsur pertama dengan unsur kedua seperti halnya teman yang saling melengkapi dalam proses pembelajaran. Keduanya tidak berfungsi secara struktural formal yang nantinya akan memisahkan keduanya. Bahkan Freire menengarai bahwa hubungan antara pengajar dan peserta didik yang bersifat struktural formal hanya akan melahirkan “pendidikan gaya bank” (banking concept of education).
"Pendidikan gaya bank" merupakan pola hubungan kontradiksi yang saling menekan. Ketika pengajar (guru) ditempatkan pada posisi di atas, maka peserta didik (murid) harus berada di bawah dengan menerima tekanan-tekanan otoritas sang guru. Oleh karena itu pendidikan seperti ini hanya akan melahirkan penindasan dan tidak sesuai dengan fitrah. Freire lebih menghendaki bahwa hubungan antara guru dan murid seperti halnya seorang teman atau partnership. Dengan model hubungan seperti ini memungkinkan pendidikan itu berjalan secara dialogis dan partisipatoris.
Posisi pengajar dan peserta didik oleh Freire dikategorikan sebagai subyek “yang sadar” (cognitive). Artinya kedua posisi ini sama-sama berfungsi sebagai subyek dalam proses pembelajaran. Peran guru hanya mewakili dari seorang teman (partnership) yang baik bagi muridnya. Adapun posisi realitas dunia menjadi medium atau obyek “yang disadari” (cognizable). Disinilah manusia itu belajar dari hidupnya. Dengan begitu manusia dalam konsep pendidikan Freire mendapati posisi sebagai subyek aktif. Manusia kemudian belajar dari realitas sebagai medium pembelajaran.
Pada dasarnya manusia itu memiliki “kebebasan” (freedom) dalam memilih dan berbuat, bahkan dalam menentukan nasibnya sendiri. Inilah fitroh manusia yang oleh Freire disebut sebagai the man’s ontological vocation. Karena kebebasan dalam memilih, mengembangkan potensi adalah fitrah manusia, maka tiap-tiap penindasan yang menafikan potensi manusia oleh Freire dipandang tidak manusiawi. Oleh karena itu ia menggagas bahwa pendidikan adalah "proses" untuk "memanusiakan manusia" (humanisasi).
Dalam kondisi sosial kaum terpinggirkan (marginal) terdapat beberapa karakter khas yang kemudian melahirkan persoalan kompleks. Penindasan adalah salah satu diantaranya yakni ketika otoritas penguasa lebih dominan dan mengeksploitasi manusia tanpa adil sedikit pun. Dengan sikap ketakutan dari kaum marginal itulah yang kemudian semakin menciptakan kesenjangan dalam kehidupan sosial. Orang-orang yang terpinggirkan itu kemudian semakin lemah, tidak berdaya atau semakin larut dalam “budaya bisu” (submerged in the culture of silence).
Mereka tidak mampu melawan otoritas sekelompok orang yang berkuasa sebab memang tidak mampu memahami diri dan realitas sosial. Salah satu persoalan yang menyebabkan mereka tersudutkan terus-menerus adalah faktor masyarakat yang buta huruf, buta wacana dan sebagainya. Untuk mengubah kondisi sosial masyarakat tertindas itulah, Freire menggagas gerakan “penyadaran”. Sebagai usaha membebaskan manusia dari keterbelakangan, kebodohan atau kebudayaan bisu yang selalu menakutkan.
Maksud dari gerakan penyadaran ini adalah agar manusia bisa mengenal realitas (lingkungan) sekaligus dirinya sendiri. Manusia bisa memahami kondisi kehidupannya yang terbelakang itu dengan kritis. Minimal dengan usaha penyadaran itu, manusia bisa memahami kondisi dirinya sendiri serta mampu menganalisa persoalan-persoalan yang menyebabkan-nya. Dalam hal ini Freire memetakan tipologi kesadaran manusia dalam empat kategori; Pertama, Magic Conscousness, Kedua Naival Consciousness; Ketiga Critical Consciousness dan Keempat, atau yang paling puncak adalah Transformation Consciousness.
Kesadaran Magis merupakan jenis kesadaran paling determinis. Seorang manusia tidak mampu memahami realitas sekaligus dirinya sendiri. Bahkan dalam menghadapi kehidupan sehari-harinya ia lebih percaya pada kekuatan taqdir yang telah menentukan. Bahwa ia harus hidup miskin, bodoh, terbelakang dan sebagainya adalah suatu "suratan taqdir" yang tidak bisa diganggu gugat.
Kesadaran Naif adalah jenis kesadaran yang sedikit berada di atas tingkatan-nya dibanding dengan sebelumnya. Kesadaran naif dalam diri manusia baru sebatas mengerti namun kurang bisa menganalisa persoalan-persoalan sosial yang berkaitan dengan unsur-unsur yang mendukung suatu problem sosial. Ia baru sekedar mengerti bahwa dirinya itu tertindas, terbelakang dan itu tidak lazim. Hanya saja kurang mampu untuk memetakan secara sistematis persoalan-persoalan yang mendukung suatu problem sosial itu. Apalagi untuk mengajukan suatu tawaran solusi dari problem sosial.
Kesadaran Kritis adalah jenis paling ideal di antara jenis kesadaran sebelumnya. Kesadaran kritis bersifat analitis sekaligus praksis. Seseorang itu mampu memahami persoalan sosial mulai dari pemetaan masalah, identifikasi serta mampu menentukan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Disamping itu ia mampu menawarkan solusi-solusi alternatif dari suatu problem sosial.
Kesadaran Transformative adalah puncak dari kesadaran kritis. Dalam istilah lain kesadaran ini adalah "kesadarannya kesadaran" (the conscie of the consciousness). Orang makin praksis dalam merumuskan suatu persoalan. Antara ide, perkataan dan tindakan serta progresifitas dalam posisi seimbang. Kesadaran transformative akan menjadikan manusia itu betul-betul dalam derajat sebagai manusia yang sempurna.
Setelah melewati proses penyadaran, pendidikan akan mampu membebaskan manusia dari belenggu hidup manusia. Dalam proses akhir ini, pendidikan akan membebaskan manusia sekaligus mengembalikan pada potensi-potensi fitri. Arti "kebebasan" (liberation) adalah pembebasan manusia dari belenggu-belenggu penindasan yang menghambat kehidupan secara lazim.Dalam hal ini proses pembebasan memiliki indikasi seperti; optimisme, resistent dan kritis. Sikap optimis inilah yang membangun manusia sebagai sosok yang penuh harapan. Adapun sikap resistent adalah karakter manusia yang paling dasar ketika mendapatkan tekanan-tekanan baik secara fisik maupun psikis dari penguasa. Sedangkan sikap kritis merupakan manifestasi dari sikap seseorang yang mampu memahami kondisi sosial serta dirinya dalam pergumulan secara langsung dengan manusia lain.
C. Karya-karya Utama Paulol Freire
• Pedagogi of the Oppressed, , diterjemahkan M.B. Ramos, Harmondsworth: Penguin, 1982; New York: Seabury Press, 1970
• Cultural Action for Freedom, Cambridge, Massachusetts:The Harvard Educational Review Monograph Series, no 1, 1970
• Education for Critical Consciousness, New York: Seabury Press, 1973
• Pedagogi of Hope: Reliving Pedagogy of The Oppressed, diterjemahkan R.R. bar, New York: Continuum, 1994
IGNASIUS (1491-1556)
A. Riwayat Singkat
Ignasius (1491-1556) dilahirkan di puri Loyola dari keluarga bangsawan dan kesatria, anak bungsu dari Beltran Yanez de Onaz dan Marina Sankhez de Licona. Semua kakak perempuannya menikah dengan keluarga bangsawan dari daerah itu. Mentalitas kesatria dengan segala atribut keperwiraaanya tampak pada diri Ignasius dalam pertempuran antara Spanyol dan Perancis di benteng Pamplona. Ignasius tetap mau berjuang mempertahankan benteng Pamplona, padahal kekuatannya sudah tidak berimbang. Sikap kesatrianya juuga tampak pada saat dia menjalani operasi pada kaki kakinya, dengan tabah dan tanpa mengeluh. Ia sunggguh menghayati kehidupannya sebagai kesatria. Pengalaman ketika kakinnya tertembak dalam perang mempertahankan benteng Pamplona ternyata juga menandai pembalikan orientasi arah hidup Ignasius. Harus diakui bahwa proses yang dialami Ignasius disaat sakit itu memang tidak datang begitu saja, tetapi melalui perenungan panjang-terus menerus. Cita-citanya tetap tinggi, tapi ia tumbuhkan dalam hatinya melalui pengalaman hiburan dan kesepian. Melalui pengalaman mistik di Manressa dan Montserrat, ia pun akhirnya mengalami pembalikan secara rohani, dari pengabdian sebagai kesatria kepada seorang putri yang bermartabat tinggi ke pengabdian kepada Kristus secara total. Ia sunguh menyadari kesia-siaan hidupnya di masa lampau, tetapi ia juga menginginkan agar perubahan hidupnya tidak sia-sia.
B. Pedagogi Transformatif dan Kesetiaan Kreatif
Sebagi seorang pendidik, Ignasius telah meletakkan dasar-dasar pijakan yang sangat kokoh mengenai pedagogi bagaimana manusia dengan roh, jiwa, dan tubuhnya dapat diolah secara integral. Dalam kaitannya dengan pedagogi yang dikembangkannya, kita dapat memahaminya dengan memiliki gagasan yang dikembangkan oleh Gerald A. Arbuckle tentang kepemimpinan. Di sini Arbuckle mengacu pada John R. Sheets yang berpendapat bahwa sebagai suatu upaya yang ditempuh untuk mengantar seseorang kepada pencapaian akan cita-cita dan tujuan tertentu, kepemimpinan dapat mengambil tiga bentuk.
Bentuk pertama, pneuma(tos), dan ini berhubungan erat dengan keberadaan roh yang selalu mau memberi dorongan dan gerakan. Pedagogi yang terjadi dilakukan dengan cara mengolah “roh”, lewat tindakan-tindakan yang mau memompa antusiasme positif dalm wujud pemberian motivasi, inspirasi dan semangat. Bentuk kedua dinamai ethoas; dan ini sesuai dengan keberadaan jiwa manusia. Pedagogi ditempuh dengan mengolah :jiwa”, melalui tindakan-tindakan yang mau membawa pada nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan. Bentuk ketiga disebut logos; dan ini sesuai dengan keberadaan tubuh manusia yang selalu mau mengajak kepada pengejawentahan semangat dan nilai-nilai dalam praksis lahiriah. Pedagogi yang terwujud adalah apa yang mengantar pada uapaya-upaya utnuk membuat keputusan-keputusan konkret. Pedagogi yang mengikutsertakan unsure pneumatos, ethos, dan logos jelas mendapat perhatian besar dari Ignasius dan para pengikutnya. Dalam upaya untuk melakukan pedagogi yang mengikutsertakan unsure pneumatos, ethos dan logos, peran dialektika antara teori dan praktik menjadi sangat penting. Melalui latihan-latihan entah dalam bentuk “eksperimen”, “probasi” ataupun live-in, orang dikondisikan untuk tidak hanya “mengetahui”, tetapi juga “mengalami”.
Ignasius memang seorang pendidik yang bijaksana. Dengan ini, dapat dikatakan bahwa Ignasius tidak menghendaki penyusunan-penyusunan suatu aturan-aturan yang berupa “petunjuk pelaksanaan (jiklak)” secara beku dan mati. Apa yang lebih ditekankan olehnya adalah identifikasi akan prinsip yang menjadi “roh” di balik rumusan-rumusan, dan kemampuan orang untuk mengingkarnasikannya dalam cara bertindak yang sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu. Terkait dengan hal ini, kita dapat ingat gagasan Peter Hans-Peter Kolvenbach seputar “kesetiaan yang kreatif (creative fidelity)”. Beliau melihat perlunya upaya untuk terus-menerus membuat inisiatif-inisiatif baru, yang arahnya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menemukan, merumuskan, dan menjangkau seoptimal mungkin jawaban atas tantangan dan peluang yang muncul dalam medan putusan yang konkret. Zaman kita sekarang menuntut system nilai tertentu, beberapa di antaranya adalah atheisme, agnostisisme, intelektualisme, sekularisme, konsumerisme, dan materialisme. Disamping itu, disadari atau tidak, masyarakat kita juga ditandai dengan “budaya instant”. Lalu, pertanyaanya adalah, bagaimanakah kita sebagai kaum berpendidikan dapat mengintegrasikan aspek iman-pengetahuan-tindakan yang terkait dengan bagian roh-jiwa-tubuh melalui proses pneumatos, ethos, dan logos dalam dialektika teori-praktik untuk menghadapi system-sistem nilail dan kebiasaan negative seperti tersebut di atas?
Harus kita akui, pertama-tama, bahwa system yang negative seperti yang disebut di atas sudah mengakar dalam dunia pendidikan. Salah satu ciri system pendidikan kita yang mau memberi tekanan pada hsil kelulusan siswa, lebih daripada proses pembentukan karakter manusia, adalah bukti adanya pengaruh system nilai yang negative tersebut. Penerimaan peserta didik dalm jumlah yang banyak, tidak adanya interaksi yang baik antara pendidik dengan peserta didik, metode pembelajaran yang membuat peserta didik mengalami tekanan lebih daripada metode yang menjadikan peserta didik mampu belajar dengan senang, dan mampu menerapkan keilmuannya dalam kehidupan sehari-hari demi perkembangan kehidupan manusia --- system pendidikan yang bermuara pada egoisme, dan bukannya pada kerjasama untuk saling menghargai, sudah begitu jamak kita temukan dalam pembicaraan tentang system pendidikan kita saat ini.
BIBLIOGRAFI
-Palmer, Joy A. (ed.), 50 Pemikir Pendidikan dari Piaget Sampai Masa Sekarang, Yogyakarta: Jendela cet-1, 2003
-Colwell, R., “Goodness and Greatness: Broudy Music Education”. Journal of Aestheti Education 26, 4, hlm. 37-48
-Boeree, C. George, Personality Theories (Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia), Jogjakarta: Prismasophie, 2006
-Thorne, Brian, Calr Rogers, London: Sage Publications, 1992
Eleanor Feinberg dan Walter Feinberg, Carl Rogers 91902-1987) dalam 50 Pemikir Pendidikan, Joy A. Palmer (ed.)
-Downing, Stephane, Holocaust: Fakta atau Fiksi?, Yogyakarta, MedPress, cet-1, 2007
Samba, Sujono, Lebih Baik Tidak Sekolah, Jogjakarta, LKiS, 2007
-Jawa Pos, Minggu 22 Juli 2007, hlm. 9
-M. Yunus, Firdaus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005
-Bdk., Jacobs, T., “Ligkungan Keluarga”, dalam Luis Goncalves da Camara, Wasiat dan Petuah St. Ignasius,Yogyakarta: Kanisius, 1996
-Prakoso, Heru, dkk., Prinsip Pedagogi Transformatif dan Kesetiaan Kreatif dalam “Basis” No 07-08, tahu ke-56, Juli-Agustus 2007
*Tulisan ini merupakan hasil revisi makalah Perbandingan Pendidikan, dosen pembimbing Muhlisin, M.Pd.I.
2 comments:
good job
tidak adakah tokoh pendidikan muslim yang diidolakan ?
Post a Comment
Silahkan menuliskan komentar anda pada opsi Google/Blogger untuk anda yang memiliki akun Google/Blogger.
Silahkan pilih account yang sesuai dengan blog/website anda (LiveJournal, WordPress, TypePad, AIM).
Pada opsi OpenID silahkan masukkan URL blog/website anda pada kotak yang tersedia.
Atau anda bisa memilih opsi Nama/URL, lalu tulis nama anda dan URL blog/website anda pada kotak yang tersedia. Jika anda tidak punya blog/website, kolom URL boleh dikosongi.
Gunakan opsi 'Anonim' jika anda tidak ingin mempublikasikan data anda. (sangat tidak disarankan)