
Oleh : Bahauddin Amyasi
Sebuah Tela'ah Konstruktif.
Konon, ada sebuah hukum pasti yang selalu diakui kebenarannya, bahwa tatakala tradisi intelektualisme dalam sebuah organisasi mulai tergerus dan melemah, maka mainstream yang muncul dan menguat adalah tradisi politik praktis. Begitu pun sebaliknya, ketika riak euphoria politik praktis menjadi grand design sebuah organisasi, maka nilai-nilai intelektualisme menjadi terpinggirkan atau bahkan macet total.
Dalam kondisi demikian, sebuah organisasi akan kehilangan arah dan orientasinya, serta cenderung terjebak pada oportunisme, sektarianisme dan perebutan kekuasaan artifisial semata. Sehingga gerak dan langkah organisasinya hanyalah hiruk pikuk euphoria belaka. Tetapi dalam tulisan ini saya tidak ingin berbicara banyak tentang “hiruk-pikuk” itu, tetapi lebih spesifik pada langkah-langkah Angkatan dalam merespon realitas yang sedang bergumul di internal dan eksternal Angkatan.
Dulu, saya pernah menulis di Blog ini tentang Spirit Angkatan dalam Labirin Pragmatisme.Dalam tulisan itu saya sebutkan bahwa Angkatan 2006 secara khusus, dan PMII Tarbiyah Surabaya Selatan, sejatinya berada dalam sebuah “labirin pengap kedap suara”. Term labirin memang sering dijadikan diksi dan metafor dari kebingungan plus kebuntuan jalan. Bingung, karena labirin tidak menyediakan kepastian jalan yang harus ditempuh. Buntu, karena opsi dan alternatif menuju jalan akhir sangatlah kecil terhalangi oleh jalan-jalan palsu dan semu. Ya, labirin memang semacam ruang bagi mereka yang benar-benar tidak menguasai dirinya, semacam koridor bagi mereka yang memiliki kebingungan orientasi karena dia sepenuhnya hanya mencoba-coba dan meraba-raba hidup.
Saya bahkan sering membayangkan, posisi Angkatan tak lebih hanyalah sebagai tikus pada sebuah labirin saat sedang mengalami disorientasi. Dan, saya juga kerap membayangkan, bahwa nun jauh di luar sana ada pihak lain yang sedang menonton. Sedang sang tikus hanya berkata, ”Ini pilihan yang mau tak mau harus ditempuh, saya tidak mampu untuk menolaknya.” Padahal, banyak opsi alternatif, hanya dengan mendemetologisasi labirin, dengan menembus langsung salah satu ujung jalan atau berfikir melampaui kelabirinan alias sadar posisi, sadar orientasi, dan sadar diri, saya yakin Angkatan dengan leluasa mampu “bernafas” dengan tenang dan pelan-pelan akan menghirup udara segar.
Begitulah saya pernah menulis dalam tulisan tersebut. Dan saat ini, saya akan mencoba kembali menelaah tentang “Mapaba 08”, dimana Angakatan 2006 berperan sebagai SC (Strering Commetee) pada acara tersebut. Dari sisi historis, Surabaya Selatan sebagai “peradaban kecil” memiliki makna yang kompleks, bahkan kontroversial. Tanpa menyampingkan tendensi subjektif, ada statemen yang menjustifikasi bahwa Surabaya Selatan (khususnya Tarbiyah) tidak lagi berideologi PMII, tetapi sudah menjadi ideologi itu sendiri. Statemen ini muncul karena di tubuh Surabaya Selatan tertanam overdosis fanatisme yang membuahkan nilai eksklusivisme, yang justru bertentang dengan nilai-nilai asas PMII itu sendiri. Eksklusvitas ini terejawantahkan ketika terjadi proses integrasi antara PMII Surabaya Selatan dengan Surabaya.
Melihat fenomena ini, saya jadi teringat tentang hiruk-pikuk wacana deklarasi Cabang PMII Tandingan di STAIN Samarinda. Wacana deklarasi PMII STAIN Samarinda menjadi tandingan PC. PMII Samarinda menjadi buah bibir yang hangat diperbincangkan waktu itu. Pro dan kontra wacana ini telah menyita perhatian warga PMII Samarinda dan menempatkan kelompok yang pro deklarasi dengan argumentasinya di satu sisi dan kelompok yang kontra di sisi yang lain, hingga menarik untuk disimak.
Di luar itu semua, saya hanya bisa memandang miris dan naïf. Betapa hanya karena “egosentrisme sektarian” dan “overdosis fanatisme”, Angkatan terjerat dalam labirin pengap dan kelam . Pengap, karena ia hanya mengusung idealitas “kosong” tanpa ujung. Kelam, karena ia layaknya berada dalam sebuah goa, dalam tempurung. Dengan menggunakan logika legalitas, Surabaya Selatan layaknya sesosok aktor yang berkoar-koar, tapi tidak pernah dihiraukan orang. Ia hanya pandai berapologi, bahwa singkong yang ia makan adalah keju. Bahwa baju katun yang ia pakai adalah sutra. Ya, nalar dan narasi Surabaya Selatan adalah sebentuk apologisme yang miris.
Ahaaa …. Sejarah yang membingungkan. Ya, Surabaya Selatan benar-benar berada dalam lintasan sejarah yang serba absurd, penuh ambiguitas.. Mereka (baca: sebagian kecil angkatan) seolah ingin menghirup kembali udara segar masa jayanya. Masa ketika Surabaya Selatan menjadi ikon gerakan di tingkatan wilayah. Ya, itu dulu. Dulu …, sebelum segalanya telah berlalu. Surabaya Selatan adalah kota yang penuh sesak dengan ingatan ke masa lampau, masa kehidupan di awal berdirinya. Surabaya Selatan adalah “kota melankoli”.
Jika ingin membandingkan dengan sejarah modern Eropa, Angkatan serupa dengan Emile Zola atau Schopenhaeur, figur-figur romantisme pada abad 19. Mereka meratapi hilangnya Eropa yang tenang dan damai karena dihancurkan oleh industrialisasi. Angkatan seolah-olah ingin menghidupkan “sejarah para senior” secara harfiyah, sejarah yang telah mulai dilupakan oleh perkembangan gerakan di luar kawasan Surabaya Selatan. Maka, figure Angkatan tidak tepat hidup di zaman “kosmopolit” yang penuh dengan potensi kemajuan ke segala arah.
Tetapi, apa yang dapat dilakukan oleh serombongan nelayan yang tak tahu pelabuhan apa yang ia cari? Maka, segala arah mata angin, bagi mereka adalah benar adanya. Ya, begitulah kiranya, sebuah dinamika organisasi yang proses kaderisasinya tidak dengan transformasi kesadaran baru, tetapi dengan nilai indoktrinasi…. Organisasi yang tidak linear, dan tidak memberdayakan kader, tetapi lebih memanfaatkannya.
Semoga MAPABA 08 Surabaya Selatan, mampu keluar dari labirin pengap, tidak hanya sekedar euphoria semu dan seremonial belaka. Karena jika tidak, SAMPAI KAPANPUN, pembodohan dan pemanfaatan terus akan berlanjut SAMPAI MAMPUS ….
1 comments:
Sekedar info: Beberapa hari yang lalu, pada pelaksanaan pelantikan pengurus eL_MEN'S, salah seorang aktifis PMMI Tarbiyah Surabaya Selatan melakukan konfirmasi pada mantan Ketua PKC, Sahabat Badrut Tamam, "bagaimana respon PKC terhadap eksistensi Surabaya Selatan?", Badrut menjawa:
"Jangankan respon, memikirkan Surabaya Selatan pun tidak ada sama sekali". Jawabnya. "Masih belum tobat to?", tambahnya...
Anggota eL-MEn'S yang hadir pada waktu itu hanya tersenyum miris .....
Kalau belum percaya, silahkan tanyakan langsung ke para pengurus eL-MEN'S ...Dan, setelah itu, terserah apa maunya...
Post a Comment
Silahkan menuliskan komentar anda pada opsi Google/Blogger untuk anda yang memiliki akun Google/Blogger.
Silahkan pilih account yang sesuai dengan blog/website anda (LiveJournal, WordPress, TypePad, AIM).
Pada opsi OpenID silahkan masukkan URL blog/website anda pada kotak yang tersedia.
Atau anda bisa memilih opsi Nama/URL, lalu tulis nama anda dan URL blog/website anda pada kotak yang tersedia. Jika anda tidak punya blog/website, kolom URL boleh dikosongi.
Gunakan opsi 'Anonim' jika anda tidak ingin mempublikasikan data anda. (sangat tidak disarankan)