oleh : Bahauddin Amyasi*
Term labirin sering dijadikan diksi dan metafor dari kebingungan plus kebuntuan jalan. Bingung, karena labirin tidak menyediakan kepastian jalan yang harus ditempuh. Buntu, karena opsi dan alternatif menuju jalan akhir sangatlah kecil terhalangi oleh jalan-jalan palsu dan semu. Ya, labirin memang semacam ruang bagi mereka yang benar-benar tidak menguasai dirinya, semacam koridor bagi mereka yang memiliki kebingugan orientasi karena dia sepenuhnya hanya mencoba-coba dan meraba-raba hidup.
Saya bahkan sering membayangkan sebagai tikus pada sebuah labirin saat saya sedang mengalami disorientasi. Dan, saya juga kerap membayangkan, bahwa nun jauh di luar sana ada pihak lain yang sedang menonton. Sedang sang tikus hanya berkata, ”Ini pilihan yang mau tak mau harus ditempuh, saya tidak mampu untuk menolaknya.” Padahal, banyak opsi alternatif, hanya dengan mendemetologisasi labirin, dengan menembus langsung salah satu ujung jalan atau berfikir melampaui kelabirinan alias sadar posisi, sadar orientasi, dan sadar diri.
Begitu pula dengan spirit ”Angkatan”. Dia adalah semacam tikus yang terus mencoba-coba jalan. Dan jalan yang sedang dilewatinya berada pada labirin yang tak lain adalah labirin pragmatisme. Saat pada perjalanan menempuh labirin itu mensyaratkan perubahan style designe, format lain karena tuntutan pragmatisme, dia pun manut (karena menjanjikan jalan keluar). Akhirnya, dia betah pada labirin karena terus-menerus dituntut mengubah diri dan tak sampai-sampai pada tujuan. Labirin itulah yang kemudian menjadi tujuan akhir. Ya, saat pragmatisme dan kualifikasi ”pasar” menjadi tujuan, maka identitas dan kualitas sudah tidak penting lagi. Tern pasar adalah parameter, bahkan paradigma.
Begitulah sebagian polarisasi kader angkatan. Belum juga mereka mencapai fase pematangan kualitatif, mereka sudah disibukkan dengan ”proses pematangan artifisial”. Tidak berlebihan jika kemudian ada sebuah hukum pasti yang menyatakan, bahwa ketika tradisi intelektualisme dalam sebuah organisasi mulai tergerus dan melemah, maka yang kemudian menguat adalah tradisi politik praktis. Pun juga sebaliknya, ketika tradisi politik praktis mulai membenalu dalam tubuh organisasi, maka nilai-nilai intelektualisme akan mati, atau paling tidak mengalami sekarat. Dalam kondisi demikian, organisasi akan kehilangan refleksi, otokritik, kontrol gerak dan laju organisasinya serta terjebak pada oportunisme dan perebutan kekuasaan artifisial semata.
Tetapi di luar itu semua, saya salut pada sahabat-sahabat yang tetap konsisten dan kukuh mempertahankan idealismenya, selalu optimistis dengan tujuan dan grand goal yang diperjuangkan, tidak terjebak dalam euforia pragmatisme semu, meski dengan proses yang teramat panjang dan melelahkan. Sebab, hidup adalah sebuah proses yang di dalamnya terdapat pijakan realitas dan idealitas yang menjadi konsekuensi logis dari pilihan-pilihan yang telah ditetapkan. Maka, saya sering teringat apa yang pernah dikatakan Thomas Carlyle, bahwa seseorang dengan tujuan yang jelas akan membawa kemajuan, meski di jalan yang sulit. Sebaliknya, seseorang dengan tujuan yang tak jelas tidak akan mendapatkan apa-apa meski di jalan yang mulus.
Term labirin sering dijadikan diksi dan metafor dari kebingungan plus kebuntuan jalan. Bingung, karena labirin tidak menyediakan kepastian jalan yang harus ditempuh. Buntu, karena opsi dan alternatif menuju jalan akhir sangatlah kecil terhalangi oleh jalan-jalan palsu dan semu. Ya, labirin memang semacam ruang bagi mereka yang benar-benar tidak menguasai dirinya, semacam koridor bagi mereka yang memiliki kebingugan orientasi karena dia sepenuhnya hanya mencoba-coba dan meraba-raba hidup.
Saya bahkan sering membayangkan sebagai tikus pada sebuah labirin saat saya sedang mengalami disorientasi. Dan, saya juga kerap membayangkan, bahwa nun jauh di luar sana ada pihak lain yang sedang menonton. Sedang sang tikus hanya berkata, ”Ini pilihan yang mau tak mau harus ditempuh, saya tidak mampu untuk menolaknya.” Padahal, banyak opsi alternatif, hanya dengan mendemetologisasi labirin, dengan menembus langsung salah satu ujung jalan atau berfikir melampaui kelabirinan alias sadar posisi, sadar orientasi, dan sadar diri.
Begitu pula dengan spirit ”Angkatan”. Dia adalah semacam tikus yang terus mencoba-coba jalan. Dan jalan yang sedang dilewatinya berada pada labirin yang tak lain adalah labirin pragmatisme. Saat pada perjalanan menempuh labirin itu mensyaratkan perubahan style designe, format lain karena tuntutan pragmatisme, dia pun manut (karena menjanjikan jalan keluar). Akhirnya, dia betah pada labirin karena terus-menerus dituntut mengubah diri dan tak sampai-sampai pada tujuan. Labirin itulah yang kemudian menjadi tujuan akhir. Ya, saat pragmatisme dan kualifikasi ”pasar” menjadi tujuan, maka identitas dan kualitas sudah tidak penting lagi. Tern pasar adalah parameter, bahkan paradigma.
Begitulah sebagian polarisasi kader angkatan. Belum juga mereka mencapai fase pematangan kualitatif, mereka sudah disibukkan dengan ”proses pematangan artifisial”. Tidak berlebihan jika kemudian ada sebuah hukum pasti yang menyatakan, bahwa ketika tradisi intelektualisme dalam sebuah organisasi mulai tergerus dan melemah, maka yang kemudian menguat adalah tradisi politik praktis. Pun juga sebaliknya, ketika tradisi politik praktis mulai membenalu dalam tubuh organisasi, maka nilai-nilai intelektualisme akan mati, atau paling tidak mengalami sekarat. Dalam kondisi demikian, organisasi akan kehilangan refleksi, otokritik, kontrol gerak dan laju organisasinya serta terjebak pada oportunisme dan perebutan kekuasaan artifisial semata.
Tetapi di luar itu semua, saya salut pada sahabat-sahabat yang tetap konsisten dan kukuh mempertahankan idealismenya, selalu optimistis dengan tujuan dan grand goal yang diperjuangkan, tidak terjebak dalam euforia pragmatisme semu, meski dengan proses yang teramat panjang dan melelahkan. Sebab, hidup adalah sebuah proses yang di dalamnya terdapat pijakan realitas dan idealitas yang menjadi konsekuensi logis dari pilihan-pilihan yang telah ditetapkan. Maka, saya sering teringat apa yang pernah dikatakan Thomas Carlyle, bahwa seseorang dengan tujuan yang jelas akan membawa kemajuan, meski di jalan yang sulit. Sebaliknya, seseorang dengan tujuan yang tak jelas tidak akan mendapatkan apa-apa meski di jalan yang mulus.
Kesuksesan besar bukanlah sesuatu yang instan, tidak serta merta turun dari langit seperti guyuran hujan. Kesuksesan besar merupakan akumulasi dari kesuksesan-kesuksesan kecil, sebagaimana kegagalan besar juga merupakan akumulasi dari kegagalan-kegagalan kecil. Maka, sampai kapankah kita akan terus merangkak dalam labirin yang sesak dan pengap? Salam ....
* Mantan Sekretaris Umum HMJ PBA Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Masa khidmah 2007-2008
0 comments:
Post a Comment
Silahkan menuliskan komentar anda pada opsi Google/Blogger untuk anda yang memiliki akun Google/Blogger.
Silahkan pilih account yang sesuai dengan blog/website anda (LiveJournal, WordPress, TypePad, AIM).
Pada opsi OpenID silahkan masukkan URL blog/website anda pada kotak yang tersedia.
Atau anda bisa memilih opsi Nama/URL, lalu tulis nama anda dan URL blog/website anda pada kotak yang tersedia. Jika anda tidak punya blog/website, kolom URL boleh dikosongi.
Gunakan opsi 'Anonim' jika anda tidak ingin mempublikasikan data anda. (sangat tidak disarankan)